Jumat, 27 Maret 2015

Memilih Pemimpin

Jumat ini (27/03) saya diberi amanah untuk menyampaikan khutbah Jum'at di mesjid dekat rumah. Permintaannya sendiri sudah diutarakan pihak mesjid sejak dua minggu lalu. Merasa sedang kosong jadual, dan tidak merencanakan perjalanan, saya mengiyakan saja dengan mantap. InsyaAllah, siap!

Sempat bingung memilih tema, akhirnya saya jatuhkan pilihan tema pada persoalan memilih pemimpin. Tema ini saya pikir cocok dan menarik, sebab tak lama lagi di desa kami akan digelar hajat akbar, yaitu pemilihan kepala desa. Kurang sepuluh hari menuju acara besar tersebut, saya berharap kita dapat meluruskan kembali pemahaman tentang hakikat kepemimpinan, khususnya menurut kacamata Islam.  Kepemimpinan sangat diperhatikan dalam Islam, Kenapa?


Alasannya, karena terkait erat dengan masalah tanggungjawab. Kian tinggi posisi kepemimpinan seseorang, tentu kian banyak pula tanggungjawab yang harus dipikulnya. Cakupan dan bobot tanggungjawab seorang kepala desa tentu lebih besar dari kepala wilayah RT. Namun demikian, nilai tanggungjawabnya tetap sama, yaitu sama-sama akan diminta pertanggungjawaban atas wilayah yang dipimpinnya. 

Bahkan, sebenarnya masing-masing kita merupakan pemimpin bagi diri kita yang kelak akan diminta pertanggungjawabannya. Setidaknya empat hal yang akan ditanyakan kepada kita sebelum kaki beranjak di hari kiamat; pengamalan ilmu, cara memperoleh dan menyalurkan harta, optimalisasi masa muda, dan usia dihabiskan untuk apa. 

Toward a mosque 
Untuk itulah, mencalonkan diri menjadi pemimpin untuk wilayah tertentu artinya siap memikul tanggungjawab yang lebih besar. Tanggungjawab itu sendiri bermakna luas dan dalam, yaitu mampu mengenali, memahami, menjadi solusi, dan memberi pengaruh positif bagi setiap individu yang dipimpinnya. Seorang ayah yang bertanggungjawab semestinya bukan hanya mampu memberi makan minum pada anak istrinya, namun juga mendidik, mengayomi, membahagiakan, memperhatikan, dan menyayangi mereka dengan baik. Demikian seorang pemimpin dalam skup yang lebih luas. Seyogianya, dengan jabatannya, pemimpin yang bertanggungjawab berupaya menyejahterakan masyarakat lebih daripada menyejahterakan diri dan keluarganya. 

Konsekuensi menjadi pemimpin tidak jauh dari dua hal; Dibenci karena zalim. Atau dicintai karena adil. Allah pun menyatakan bahwa makhluk paling dibenci adalah pemimpin yang zalim. Sebaliknya, makhluk paling dicintai yaitu pemimpin yang adil. 

Lantas siapa sebenarnya yang layak kita pilih menjadi pemimpin. Setidaknya perhatikan saja dua hal. Pertama, Al-QAWI (kuat) mencakup kapabilitas, kecakapan, keahlian, kepintaran, dan sebagainya. Kedua, AL-AMIN (amanah) mencakup kesalehan, kejujuran, keadilan, dan keimanan. Pilihlah pemimpin yang pandai mengatur rakyat sekaligus yang amanah dalam menjalankan roda kepemimpinannya. Demikianlah pemimpin ideal menurut Al-Quran. Nabi Yusuf berhasil memimpin Mesir sebab QAWI dan AMIIN. 

Jika keduanya sulit ditemukan dalam diri calon pemimpin, setidaknya pilih salah satu yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan kita saat ini. Demikian saran Imam Ahmad bin Hambal. Saya pikir yang paling mendesak di zaman ini adalah memilih pemimpin yang AMIIN. Amanah, jujur, saleh. 

Sebab sangat banyak kini pemimpin yang pintar-pintar, namun justru kepintarannya dipakai untuk memeras rakyat. Bukan mengurus rakyat, tapi meng-'kurus'-kan rakyat, alias merampas hak rakyat. Kalau pemimpin amanah, adil, jujur, maka dia dipastikan akan bekerja keras mementingkan kebutuhan yang dipimpinnya, bukan mendahulukan kepentingan diri dengan mengorbankan kebutuhan masyarakat. Karena Ia yakin bahwa dirinya terpilih semata-mata karena diharapkan bisa menebar kenyamanan dan kelayakan hidup masyarakat. Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur. Itulah negeri yang penuh dengan keberkahan dari Ilahi. 

 Wallahu A'lam bishshawab.
 Al-Faqir Ila 'Afwi Rabbih
Risyan NH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar